Jumat, 04 November 2011

ETIKA DAN HUKUM TEKNIK BAYI TABUNG dalam KEPERAWATAN

Teknologi Reproduksi Buatan
oleh : Astrien Melinda http://alint-go.blogspot.com
Pada dasarnya proses pembuahan yang alami terjadi dalam rahim manusia melalui cara yang alami pula (hubungan seksual). Akan tetapi pada kondisi tertentu pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud. Kondisi ini menyebabkan infertilitas yang menyebabkan manusia tidak dapat memiliki keturunan.
Teknologi reproduksi buatan merupakan bagian dari pengobatan infertilitas. Infertilitas dikatakan sebagai kelainan atau kondisi sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada dasarnya mempunyai hak untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan manifestasi dari sakit maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas dari kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk bereproduksi. Teknologi reproduksi buatan digunakan untuk mengatasi infertilitas ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak memungkinkan dilakukan maka teknik reproduksi buatan dapat diterapkan.
Teknologi ini memberi kesempatan kepada pasangan suami istri yang memiliki masalah dengan proses reproduksi untuk memiliki keturunan yang tetap berasal dari benih mereka. Hak reproduksi tidak hanya berarti hak untuk memperoleh keturunan, tetapi lebih luas lagi berarti hak untuk hamil atau tidak hamil, hak untuk menentukan jumlah anak, hak untuk mengatur jarak kelahiran.
Teknologi reproduksi buatan mencakup setiap fertilisasi yang melibatkan manipulasi gamet (sperma, ovum) atau embrio diluar tubuh serta pemindahan gamet atau embrio ke dalam tubuh manusia. Teknik bayi tabung (InVitro Fertilization) dan teknik ibu pengganti (Surrogate Mother) termasuk dalam teknologi reproduksi buatan ini.
Pada perkembangannya teknologi reproduksi buatan semakin berkembang menjadi beberapa teknik sebagai berikut:
1. In Vitro Fertilization & Embryo  Transfer (IVF & ET)
2. Gamete Intrafallopian Transfer (GIFT)
3. Zygote Intrafallopian Transfer (ZIPT)
4. Cryopreservation
5. Intra Cytoplasmic Sperm Injection
6. Pre-Implantation Genetic Diagnosis
7. Sex Selection.

II.1.1 Teknik Bayi Tabung (InVitro Fertilization)
Teknik bayi tabung atau pembuahan in vitro (in vitro fertilisation) adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Prosesnya terdiri dari mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium cair. Teknik bayi tabung pada manusia sebagai suatu teknologi reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita, pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal berkembangnya teknik bayi tabung bermula dari ditemukannya teknik pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
Dalam melakukan fertilisasi-in-virto transfer embrio dilakukan dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis, yaitu :
1. Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah sel-sel telurnya matang.
2. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui pemeriksaan darah dan pemeriksaan ultrasonografi.
3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum (pungsi) melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi.
4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi dengan sel sperma suami yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian diimplantasikan ke dalam rahim wanita. Pada periode ini tinggal menunggu terjadinya kehamilan.
7. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak terjadi menstruasi dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan, dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Berdasarkan asal sumber sperma pada proses bayi tabung maka secara teknis teknik bayi tabung terdiri dari empat jenis, yaitu:
1. Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan kedalam rahim isterinya sendiri.
2. Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang dimasukkan ke dalam rahim selain isterinya. Atau disebut juga sewa rahim (Surrogate Mother).
3. Teknik bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari bukan suami/isteri.
4. Teknik bayi tabung dengan sperma yang dibekukan dari suaminya yang sudah meninggal.

II.1.2. Teknik Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Teknik ibu pengganti dapat diartikan sebagai penggunaan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah dibuahi oleh benih lelaki (sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan. Menurut Black\’s Law Dictionary yang dimaksud Surrogate mother adalah: “1. A woman who carries a child to term on behalf of another woman and then assigns her parental rights to that woman and the father. 2. A person who carries out the role of a mother”. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai wanita yang menggunakan rahimnya untuk hamil dimana janin yang dikandungnya tersebut milik wanita lain dan setelah bayi lahir hak kepemilikan atau hak asuh bayi tersebut diserahkan kepada wanita lain tersebut dan ayah dari bayi tersebut. Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah.
Kaedah ini dikenal juga dengan sewa rahim karena lazimnya pasangan suami isteri yang ingin memiliki anak ini akan memberikan imbalan kepada ibu pengganti yang sanggup mengandung benih mereka, dengan syarat ibu pengganti tersebut akan menyerahkan anak setelah dilahirkan atau pada waktu yang telah ditetapkan sesuai perjanjian. Teknik ibu pengganti biasanya dilakukan bila istri tidak mampu atau tidak boleh hamil atau melahirkan. Embrio dibesarkan dan dilahirkan dari rahim wanita lain bukan istri walaupun bayi itu menjadi milik pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak tersebut.
Beberapa alasan yang menyebabkan dilakukan teknik sewa rahim, adalah:
1. Seorang wanita tidak mempunyai harapan untuk hamil secara normal karena suatu penyakit atau kecacatan yang menghalanginya untuk hamil dan melahirkan anak.
2. Rahim wanita tersebut dibuang karena pembedahan.
3. Wanita ingin memiliki anak tetapi tidak mau menjalani proses kehamilan, melahirkan dan menyusui anak serta keinginan untuk memelihara bentuk tubuh dengan menghindari akibat dari proses kehamilan dan kondisi tubuh setelah melahirkan.
4. Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah mengalami menopause.
5. Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan rahimnya kepada orang lain.
Secara umum terdapat 5 bentuk tipe teknik sewa rahim, yaitu:
1. Sel telur isteri dipertemukan dengan sperma suami, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki sel telur yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama dengan tipe yang pertama, kecuali sel telur dan sperma yang telah dipertemukan tersebut dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu pengganti setelah kematian pasangan suami isteri itu.
3. Sel telur isteri dipertemukan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi sel telur isteri dalam keadaan baik.
4. Sperma suami dipertemukan dengan sel telur wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri mengalami penyakit pada kandung telur dan rahimnya sehingga tidak mampu menjalani kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap menopause.
5. Sperma suami dan sel telur isteri dipertemukan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.

II. 2 Hukum Dan Etika Reproduksi Buatan Di Indonesia
Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik reproduksi buatan diatur dalam:
1. UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan: ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa:
1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang bersangkutan.
2. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.
3. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
• Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir.
• Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal.
• Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun
5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio
6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian, Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas
7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi
8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu impan beku)
9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal.
10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.
Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi  dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya: menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada :
1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoclonal.
2. sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri sendiri.
II.2.1 Aspek Hukum Bayi Tabung (InVitro Fertilization)
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi teknologi ini juga rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika.
Teknologi bayi tabung merupakan upaya kehamilan di luar cara alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya kehamilan di luar cara alamiah diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Permasalahan perdata yang timbul berkaitan dengan teknologi bayi tabung antara lain adalah:
1. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan melalui proses bayi tabung?
2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?
3. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap teknologi bayi tabung:
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri.
a. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
b. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
c. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
d. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata.
2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
3. Jika semua benihnya dari donor
1. Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
2. Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat menutup kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya.
Berdasarkan asas leg spesialis retrograde leg generale dalam ketentuan hukum maka berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia teknologi bayi tabung yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan ketentuan pasal 127 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, dimana sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri dan ditanamkan dalam rahim istrinya tersebut. Dengan demikian, walaupun terdapat ketentuan lain yang mengatur mengenai hubungan perdata dalam proses inseminasi buatan dan teknologi bayi tabung selain yang diatur UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, ketentuan tersebut akan batal dengan sendirinya demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih spesifik mengatur masalah tersebut, dalam hal ini UU Kesehatan No. 36 tahun 2009.
II.2.2 Aspek Hukum Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Sebagai informasi tambahan, praktek transfer embrio ke rahim titipan (bukan rahim istri yang memiliki sel telur tersebut) telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 Mei 2006.
Praktek ibu pengganti atau sewa menyewa rahim belum diatur di Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan hukum bagi para pelaku perjanjian ibu pengganti ataupun sewa menyewa rahim.
Dalam pasal 1338 KUHPer memang diatur mengenai kebebasan berkontrak, di mana para pihak dalam berkontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUHPer yaitu:
1.    Kesepakatan para pihak;
2.    Kecakapan para pihak;
3.    Mengenai suatu hal tertentu; dan
4.    Sebab yang halal.
Jadi, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (pasal 1320 jo pasal 1337 KUHPer). Sedangkan praktek ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut UU Kesehatan. Dengan demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi.
Dalam konteks tidak dipenuhinya persyaratan yang menyangkut syarat yang melekat pada objek perjanjian (sebab yang halal) bisa berakibat antara lain:
1. menjadi dasar atau alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian tersebut karena perjanjian tidak memenuhi syarat sebab atau kausa yang halal, dan
2. tidak ada landasan hukum bagi wanita pemilik sel telur atau suaminya untuk menuntut si ibu pengganti dalam hal ia tidak mau menyerahkan bayi yang dititipkan dalam rahimnya tersebut.
Hal lain yang penting diperhatikan dalam ibu pengganti adalah hak-hak anak yang terlahir dari ibu pengganti tidak boleh terabaikan, khususnya hak identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran (lihat pasal 27 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Apabila terjadi perselisihan antara Ibu dengan si ibu pengganti, maka penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi si anak.
II.2.3 Dilema Etik Dan Hukum Dalam Teknik Reproduksi Buatan
Semakin berkembangnya teknologi Reproduksi Buatan dan dan semakin berkembangnya dinamika pemikiran masyarakat mengenai etika, norma, nilai dan keyakinan yang dianut. Dalam satu sisi perkembangan teknologi tidak dapat dibendung sedangkan perangkat yang mengatur etika dan hukum belum dapat mengikuti. Sebagai hasilnya, penilaian benar atau tidak hanya didasarkan pada sisi kepentingan saja.
Hal yang terjadi ini memerlukan diskusi dan pemikiran dari para ahli dari lintas disiplin sehingga hal-hal yang dapat menurunkan derajat dan martabat manusia yang mungkin terjadi dalam penyelenggaraan teknik reproduksi buatan dapat dihindari.

0 komentar:

Posting Komentar